Thursday 13 August 2020

Karena Tak Mampu

 "Kalau tidak mampu, kenapa kuliah?", suara laki-laki berkumis di depanku itu membuat aku terdiam. Aku tidak mampu membalas pertanyaanya dengan kata-kata. Tetapi tiba-tiba air mataku jatuh dari pelupuk mata. 

Aku merasa bumi seakan berhenti berputar. Ya, ruangan yang sehararusnya rame karena penuh dengan aktivitas pembayaran daftar ulang mahasiswa baru di dua hari terakhir tiba-tiba hening. Apakah ini hening yang sebenarnya? ataukah hening karena perasaanku saja yang begitu hancur karena tidak ada jalan untuk bisa kuliah? 


Setelah mampu berbicara sambil menghapus air mata akhirnya aku menjawab "Baik Pak, mungkin memang orang tidak mampu seperti saya tidak boleh kuliah". Kemudian aku undur diri keluar dari hadapan bapak itu. Di luar aku disambut sama ke dua temenku Asni dan Fajri dan satu kakak kelas ketika SMA yang sudah kuliah disini bernama Mbak Sari yang dengan sangat baik hati mengantarkan kami ke sini. Asni bernasib sama dengan aku, kami datang ke kampus ini karena kami lulus ujian SBMPTN dan daftarnya dibiayai oleh beasiswa BMU (Beasiswa Mengikuti Ujian), saat itu belum ada beasiswa bidik misi. Dan kami baru tahu ternyata beasiswa BMU hanya memberi beasiswa untuk daftar tes SBMPTN dan uang saku untuk ikut tes serta SPP di tahun pertama ketika lulus. Untuk masalah daftar ulang ke kampus yang di tuju tidak dibiayai. Sedangkan Fajri, dia kekampus ini dengan biaya sendiri. Hari ini Fajri sudah selesai daftar ulang. 


"Gimana Nur", Asni dan Fajri yang sedari tadi menungguku diluar bertanya. Aku hanya menggelengkan kepala. Kamudian kulanjutkan "Benar kamu Asni, ternyata kita tidak bisa mengajukan keringanan walaupun sebagai penerima BMU. Karena jadwal kereta jam 5 sore dan sekarang masih jam 2, yuk kita jalan dulu lihat-lihat bagian belakang kampus ini. Mungkin ini adalah hari terakhir aku bisa melihat kampus ini. Aku sudah pasrah tidak bisa lanjut kuliah. "


Kamipun melangkahkan kaki meninggalkan area pembayaran. Kami jalan kebelakang kampus dipandu oleh Mbak Sari yang sudah hafal area kampus itu. Sesampainya di daerah yang penuh alang-alang kami berhenti. Lalu kak Sari bilang "inilah area belakang kampus ini". "OK kak", aku, Asni, dan Fajri dengan serentak menjawab. 

 

Lalu kamipun balik arah, sekarang kami menuju ke tempat pemberhentian angkot yang jaraknya sekitar 20 menit jalan kaki. 

Kami berpisah dengan kak Sari di situ. Kak Sari mengantarkan kami ke Angkot sambil bilang ke sopir angkot kalau kami berhenti di perempatan rumah sakit menuju ke stasiun Gubeng. Habis itu beliau balik ke kosnya. Sedangkan kami bertika naik angkot. Turun dari angkot kami jalan sekitar 10 menit untuk sampai di stasiun. Kami sampai di stasiun jam 4 sore, masih ada waktu kami sholat dulu, habis itu nunggu kereta. 

 

Di kereta aku bertanya kepada Asni "Gimana As, apa rencanamu selanjutnya?","Mungkin aku ikut kursus 1 tahun saja, habis itu kerja, kalau kamu gimana?". "Aku tidak tau As." Benar, waktu itu aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Bagaimana tidak? impian kuliah yang sudah lama aku idam-idamkan sudah pupus. Ya, aku sangat ingin bisa kuliah. Aku sadar kalau aku dari keluarga miskin. Bapakku adalah seorang buruh tani, yang kerjanya membantu orang dengan gaji 1500 rupiah perhari dan ibuku adalah seorang pedagang kelontong. Penghasilan sehari-hari hanya cukup untuk membiayai ketiga anaknya. Makan dengan nasi dan zlantah (minyak sisa untuk menggoreng ikan asin) sudah biasa bagi kami. Bagaimana kami bisa membayar uang daftar ulang 4.500.000 rupiah? itu uang yang sangat besar buat kami sekeluarga. (bersambung)