Thursday 12 November 2020

It is difficult but possible

PhD is such a long journey. It has been started far before I came to Australia.  It began when I planned to continue my PhD, discussed it with my husband, joined the english course at IALF when I used to arrive home at 9 p.m with my husband and my little daughter. It is not easy, it is difficult.  I knew that my husband was exhausted, but he never complains. After around 2-3 months, I struggle to learn IELTS, Alhamdulillah my score is 7.

The attempt did not stop here; I must get a scholarship. After three months following a series of LPDP test, I have got accepted. Alhamdulillah.  Then, I have to prepare everything for my study with my little family. It is also difficult.

Now, almost 1.5 years, I have been sit in this office, which mean 1.5 years I have become a PhD students formally. But, informally I have gone through the journey for three years, not only me but my husband and my daughter. We are struggling. And I do not know when it will finish? How will it end? Only doa and work hard that I can do. Oh My God, give me and my family easiness to go through this long journey.



NB: perhaps there are some mistakes in my writing, I am so sorry, because I am still learning. Thank you


Wednesday 14 October 2020

Jurnal Pertamaku di Q1

 Sebenarnya proses untuk menulis jurnal ini tidak instan. Seingatku, aku sudah mulai mendapatkan hasil dari eksperimenku sekitar bulan maret lalu. Saat itu komputer yang dibelikan oleh pembimbingku belum datang, jadi aku terpaksa harus running di google colab. Itupun butuh akses internet yang banyak, padahal waktu itu aku ga punya langganan jaringan internet yang unlimited, jadi terpaksa kalau running harus ke lab. Atau kalau waktunya sore harus momong, ngajak anak ke parents room yang ada di Reid Library. Sementara anak main, aku running eksperiment. Trus akhir maret kalau ga salah, ada himbauan stay at home, setelah ada satu orang di Western Australia yang meninggal. Awalnya sempat bingung, bagaimana harus running? Alhamdulillah, di waktu yang hampir bersamaan dapat kabar kalau komputer yang dibelikan sama spv sudah datang. Boleh di ambil dan di bawa pulang. 

Karena komputer sudah di rumah, alhamdulillah masalah resource untuk eksperimen ga masalah. Alhamdulillah bisa running dengan sangat cepat, yang awalnya butuh 2 jam untuk satu eksperiment, ini hanya butuh waktu kurang dari 10 menit. Bisa dibandingkan bedanya kan. Trus karena masing-masing kasus harus diulang 10 kali, aku bisa eksperiment sambil masak. Jadi running dulu, trus di tinggal masak. Sambil sesekali di cek. 

Alhamdulillah akhir april masalah eksperiment sudah selesai, sebenarnya draft sudah mulai saya tulis juga. Alhamdulillah, draft selesai sekitar bulan mei. Full draft tadi akhirnya direvisi bolak balik oleh pembing ke 4, ke 2, dan ke 1. Awalnya aku bimbingan Full draft ke pembimbing 4, setelah pembimbing 4 Ok. Lanjut ke pembimbing 2, di pembimbing 2 ini proses agak alot. Beliau menanyakan kontribusi. Kontribusi yang tak tuliskan katanya masih kurang. Di sini mulai bingung, down, stress. Akhirnya lanjut baca lagi, nambah eksperiment lagi, begitu terus sampai pada satu titik, aku sudah bosan dan sudah ga tau apa yang harus lakukan lagi untuk paper ini. Dari situ pembimbing satu mulai ikut membantu. Beliau akhirnya mereview draftku walaupun pembimbing 2 belum meloloskannya. Review dari pembimbing 1 selesai dalam waktu kurang dr 1 minggu. Draftku sudah mulai tampak lebih indah. MasyaAllah keren banget pembimbingku ini. Comment dari pembimbing 1 "I like the story, I want to buy this, which mean draft ini menurut beliau layak terbit". Habis itu baru pembimbing 2 mulai mau mereview lagi dan hasil reviewnya lebih tajam. Aku sampe ga bisa tidur, stress, depresi, itulah yang aku alami selama 5 hari. Sampe-sampek aku sholat tahajud menangis minta sama Allah bisa tidur. Rasanya berat, badan capek, pikiran capek tapi ga bisa istirahat. Konsultasi sama teman, disarankan untuk refreshing, olah raga, istirahat sejenak. Akhirnya aku ikuti saran-saran dari teman, tidak lupa juga minta didoakan suami dan orang tua untuk diberi kemudahan. 


 

Alhamdulillah kondisi sudah mulai membaik, badan sudah agak enakan, satu demi satu benang permasalahan tentang draft paper sudah mulai terurai. Kalau ada yang hasilnya tidak sesuai dengan yang diperkirakan kenapa dan mengapa, tak coba untuk menggambarkannya. Hingga ketiga spvku setuju. Akhirnya akhir July ketiga spv setuju untuk submit. "We have to move on", they said. Submitnya kemana sudah didiskusikan, masalah dana ga masalah katanya. 

Tapi sebelum submit, draft ini harus disetujui dulu sama spv ke tiga. Beliau juga senior professor, lulusan kampus ternama dunia, dan native english. Pass banget. Walaupun menurutku sudah ok, tetapi masih ada sedikit revisi dari beliau dan itu masalah written englishnya. "Ternyata ada beberapa kalimat yang menurutku ok, tapi kalau di baca native speaker kayaknya kurang jelas". Habis revisi, bismillah paper tersebut akhirnya submit bulan Agustus. 

Satu bulan kemudian hasil review datang, hasilnya adalah "Major Revision". Awalnya beberapa spv bilang, revisinya mudah. Tapi bagiku ga mudah. AKu kesulitan untuk mencerna hasil reviewnya dan bagaimana harus menjawab. Stress lagi, bingung lagi. Harus kerja lembur lagi. ALhamdulillah suami yang backup masalah anak, kalau lagi perlu lembur. Walaupun sudah kerja keras menurutku, tetapi review tidak bisa selesai di waktu yang ditentukan. AKhirnya minta perpanjangan revisi dikasih tambahan 5 hari. Alhamdulillah, Allah memberikan kemudahan sampai akhirnya semua spv setuju dengan jawaban reviewnya, habis itu baru submit.

 

Selang berapa minggu aku nerima notifikasi kalau paper accepted. Alhamdulillah, ini semata karena petunjuk Allah dan bantuan banyak pihak. Semua spv ngasih selamat. Dan ada satu email dr spv pertamaku yang membuatku kagum 

"AlhamduliAllah. May Allah guide us to do what is best. If you keep working hard, you can have another paper in 3 months of the calibre of TIP." 

 

Sebuah doa dan sebuah harapan. Begitulah akhir cerita proses publikasi ini, berat, penuh tangis, tertekan, stress. Tapi dengan memaksimalkan ikhtiar dan tawakkal, insyaAllah bisa. 

"Sharing is caring"




Thursday 13 August 2020

Karena Tak Mampu

 "Kalau tidak mampu, kenapa kuliah?", suara laki-laki berkumis di depanku itu membuat aku terdiam. Aku tidak mampu membalas pertanyaanya dengan kata-kata. Tetapi tiba-tiba air mataku jatuh dari pelupuk mata. 

Aku merasa bumi seakan berhenti berputar. Ya, ruangan yang sehararusnya rame karena penuh dengan aktivitas pembayaran daftar ulang mahasiswa baru di dua hari terakhir tiba-tiba hening. Apakah ini hening yang sebenarnya? ataukah hening karena perasaanku saja yang begitu hancur karena tidak ada jalan untuk bisa kuliah? 


Setelah mampu berbicara sambil menghapus air mata akhirnya aku menjawab "Baik Pak, mungkin memang orang tidak mampu seperti saya tidak boleh kuliah". Kemudian aku undur diri keluar dari hadapan bapak itu. Di luar aku disambut sama ke dua temenku Asni dan Fajri dan satu kakak kelas ketika SMA yang sudah kuliah disini bernama Mbak Sari yang dengan sangat baik hati mengantarkan kami ke sini. Asni bernasib sama dengan aku, kami datang ke kampus ini karena kami lulus ujian SBMPTN dan daftarnya dibiayai oleh beasiswa BMU (Beasiswa Mengikuti Ujian), saat itu belum ada beasiswa bidik misi. Dan kami baru tahu ternyata beasiswa BMU hanya memberi beasiswa untuk daftar tes SBMPTN dan uang saku untuk ikut tes serta SPP di tahun pertama ketika lulus. Untuk masalah daftar ulang ke kampus yang di tuju tidak dibiayai. Sedangkan Fajri, dia kekampus ini dengan biaya sendiri. Hari ini Fajri sudah selesai daftar ulang. 


"Gimana Nur", Asni dan Fajri yang sedari tadi menungguku diluar bertanya. Aku hanya menggelengkan kepala. Kamudian kulanjutkan "Benar kamu Asni, ternyata kita tidak bisa mengajukan keringanan walaupun sebagai penerima BMU. Karena jadwal kereta jam 5 sore dan sekarang masih jam 2, yuk kita jalan dulu lihat-lihat bagian belakang kampus ini. Mungkin ini adalah hari terakhir aku bisa melihat kampus ini. Aku sudah pasrah tidak bisa lanjut kuliah. "


Kamipun melangkahkan kaki meninggalkan area pembayaran. Kami jalan kebelakang kampus dipandu oleh Mbak Sari yang sudah hafal area kampus itu. Sesampainya di daerah yang penuh alang-alang kami berhenti. Lalu kak Sari bilang "inilah area belakang kampus ini". "OK kak", aku, Asni, dan Fajri dengan serentak menjawab. 

 

Lalu kamipun balik arah, sekarang kami menuju ke tempat pemberhentian angkot yang jaraknya sekitar 20 menit jalan kaki. 

Kami berpisah dengan kak Sari di situ. Kak Sari mengantarkan kami ke Angkot sambil bilang ke sopir angkot kalau kami berhenti di perempatan rumah sakit menuju ke stasiun Gubeng. Habis itu beliau balik ke kosnya. Sedangkan kami bertika naik angkot. Turun dari angkot kami jalan sekitar 10 menit untuk sampai di stasiun. Kami sampai di stasiun jam 4 sore, masih ada waktu kami sholat dulu, habis itu nunggu kereta. 

 

Di kereta aku bertanya kepada Asni "Gimana As, apa rencanamu selanjutnya?","Mungkin aku ikut kursus 1 tahun saja, habis itu kerja, kalau kamu gimana?". "Aku tidak tau As." Benar, waktu itu aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Bagaimana tidak? impian kuliah yang sudah lama aku idam-idamkan sudah pupus. Ya, aku sangat ingin bisa kuliah. Aku sadar kalau aku dari keluarga miskin. Bapakku adalah seorang buruh tani, yang kerjanya membantu orang dengan gaji 1500 rupiah perhari dan ibuku adalah seorang pedagang kelontong. Penghasilan sehari-hari hanya cukup untuk membiayai ketiga anaknya. Makan dengan nasi dan zlantah (minyak sisa untuk menggoreng ikan asin) sudah biasa bagi kami. Bagaimana kami bisa membayar uang daftar ulang 4.500.000 rupiah? itu uang yang sangat besar buat kami sekeluarga. (bersambung)