Wednesday 30 June 2010

Pertemuan dan Perpisahanku dengan Seorang Muslim Myanmar


Dalam setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Kenapa kita harus menangisinya? Tapi ya Allah, sungguh terasa berat perpisahan ini bagiku. Walaupun mungkin tidak hanya hambamu ini saja yang merasa berat dengan perpisahan ini, tetapi teman-teman di dorm pasti merasakan hal yang sama.

Ya, namanya adalah Xiao li, gak tau apakah spellingnya benar apa tidak. Dia adalah seorang muslim dari Myanmar. Pada pertengahan Ramadhan tahun lalu, semua cerita tentang Xiao li dan kami (baca: aku dan teman-temanku muslim dari Indo) berawal. Masih teringat betul bagaimana cerita itu bermula. Waktu itu habis tarawih, mbak Lilik sedang mencuci di mesin cuci, kemudian datanglah Xiao li mendekati mbak Lilik dan bertanya "Ni shi muslim ma?" dalam bahasa mandarin yang artinya "Apakah kamu muslim?". Untung pada waktu itu yang ditanyain adalah mbak Lilik ,yang bahasa mandarinnya sudah lihai, jadinya dia tahu maksudnya. Trus langsung saja mbak Lilik mengiyakannya. Habis itu dengan senang hati mbak Lilik mengenalkan Xiao li dengan aku dan Farida karena kita sekamar.

Percakapan di antara kita sangat minim sekali waktu itu, karena kendala bahasa. Coba bayangkan, kami yang tidak bisa bahasa mandarin dan selama ini hanya mengandalkan bahasa inggris harus bercakap-cakap dengan Xiao li yang bahasa sehari-harinya adalah bahasa mandarin dan sangat sedikit menggunakan bahasa Ingris harus bercakap-cakap. Jadinya, hanya saling diam. Kemudian mbak lilik mengajak Xiao li ke masjid untuk buka bersama dan taraweh. Waktu itu kita agak jarang ketemu. Kemudian gak tau sejak kapan, Xiao li jadi sering ke kamar kami. Kita makan bersama, bercanda bersama, walupun aku lebih sering diam. Mbak liliklah yang sering ngajak dia bicara, karena emang diantara kami yang paling mahir bahasa mandarinnya adalah mbak Lilik. Teringat betul, waktu itu dia belum shalat, dan alhamdulillah lama kelamaan ketika di ajak shalat dia mau.

Babak baru hubungan kami semakin membaik sejak enam bulan lalu, ketika Xiao li memutuskan untuk pindah ke kamar kami. Interaksi antara kami jadi semakin sering. Berlahan-lahan namun pasti aku dan Farida mulai berani ngomong pake bahasa Zhongwen. Walaupun banyak salahnya, tetapi karena rahmat Allah, Xiao li ngerti dan komunikasi diantara kami terjalin. Dan Xiao li pun berlahan-lahan belajar bahasa inggris. Subhanallah, sejak saat itu dia jadi mau belajar iqro' walaupun mulai dr iqra' 1, dia mau menghafal surat2 pendek, pokoknya banyak deh.

Xiao li oh Xiao li, anaknya pekerja keras. Dia mengajarkan banyak hal padaku. Dia mengajarkan arti keikhlasanm, bekerja keras, tidak pernah mengeluh, keceriaan. Sejak lulus SMP dia merantau ke Taiwan, melanjutkan SMA dan kuliah sambil bekerja. Hidupnya amat sangat jauh lebih keras dari pada yang pernah aku alami.

Kini, setelah satu semester berlalu, akhirnya perpisahanpun harus aku hadapi. Aku sangat kaget sekali, ketika Xiao li berkata dia akan cuti selama satu tahun. Dia ingin kerja dulu di kauhsiung baru nanti akan melanjutkan sekolah lagi. Tapi apa daya, aku tidak mampu untuk mencegahnya. Aku merasa sangat kehilangan Xiao li. Selamat jalan Xiao li, semoga engkau baik-baik saja di sana, dan selalu dalam rahmat dan petunjuk Allah. Semoga Allah memberikan kehidupan yang lebih baik kepadamu. Pesanku, jangan lupa untuk tetap menjaga shalatmu. Semoga nanti kita dipertemukan oleh-Nya dalam kondisi yang lebih baik. Aamiin.

2 comments:

  1. Hmmm, nice story :)

    ReplyDelete
  2. mbak wijey terharu....
    sekalian kangen sama mb farida n
    mbk lilik semoga setelah pulang (baca : di Indonesia nanti) Kita masih dipertemukannya dalam keadaan yang lebih baik,
    AAAAAMIIN YRAlamiin

    ReplyDelete